Kamis, 12 Maret 2009

Utamakan CSR untuk Pekerja


PEKERJA sebagai tulang punggung perusahaan harus menjadi pihak pertama yang menerima manfaat program Corporate Social Responsibility (CSR). “Selama ini orang selalu berpikir CSR itu eksternal, padahal seharusnya bermula dari diri sendiri. Kalau mereka sendiri tidak becus mengurus dirinya sendiri, untuk apa mengurus ke luar. Akhirnya, (program CSR) malah menjadi PR atau promosi, cuma pamer-pamer saja,” kata Direktur Eksekutif Indonesia Business Link (IBL) Yanti Koestoer saat ditemui Merdeka di Jakarta.

Menurutnya, dengan ketersediaan SDM berkualitas perusahaan tidak perlu menganggarkan dana berlebihan untuk program CSR. Perusahaan dapat memobilisasi para karyawan sebagai sukarelawan dalam menjalankan program sosialnya.

“Simpel memang, tetapi dampaknya besar sekali. Bukan saja image perusahaan terbangun, tetapi relawan yang terlibat dalam program dapat mendengarkan langsung apa keinginan customer atau pandangan perusahaan. Pada akhirnya nanti akan terjadi perbaikan produk. Program seperti ini akan mem-build up atau membangun ekonomi di sekitar perusahaan. Dengan membangun ekonomi lokal melalui volunter-volunter-nya akan menaikkan daya beli masyarakat,” kata Yanti.

Sebelumnya, pakar CSR Edi Suharto juga mengingatkan, program CSR perusahaan harus mendahulukan stakeholder di internal perusahan. Artinya dalam krisis global sekarang ini, hindarkan kebijakan mengurangi kesejahteraan buruh hanya untuk pelaksanaan CSR ke luar.

Dalam Global Reporting Initiative berstandar internasional, masalah praktik perburuhan dan hubungan kerja memang menjadi salah satu indikator GRI. Dalam praktik CSR, perusahaan mau tidak mau harus mengutamakan kesejahteraan pekerja.

Sementara Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Erwin Aksa telah menegaskan di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, bahwa Hipmi akan membantu pemerintah mengatasi krisis dengan mencegah pemutusan hubungan kerja (PHK).

Krisis Global

Dalam konteks krisis global sekarang ini, Yanti mengaku perjuangan IBL makin berat. Hal ini karena banyak perusahaan mengalami kemunduran pelaksanaan program CSR. Padahal, perusahaan yang bijak seharusnya tetap survive dengan menerapkan strategi CSR yang lebih baik. “Ini dapat diwujudkan jika perusahaan menganggap karyawan bukan sebagai beban tapi jadi mitra,” katanya.

Yanti juga mengaku kesulitan mempersatukan perusahaan dengan berbagai strategi CSR yang diterapkan. “Perusahaan itu banyak. Problem dan tantangan dalam berbisnis juga beragam. Program CSR mereka sangat terkait dengan jenis bisnisnya. Kesulitan kita adalah menyatukan ide CSR mereka yang terkesan mementingkan ego korporatnya masing-masing,” katanya.

Menurut Yanti, perusahaan sebenarnya memiliki kepedulian cukup baik terhadap isu sosial dan lingkungan. Yang perlu diperhatikan sekarang bagaimana membuat perusahaan memberikan problem solving dalam mengatasi isu.

Untuk diketahui, IBL adalah lembaga nirlaba yang aktif mengembangkan program CSR for Better Life sejak 2003. (Erlin Sitinjak/Harian Merdeka)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar