Kamis, 05 Maret 2009

Target MDGs 2015 Terancam Gagal


MAHKAMAH Konstitusi (MK) telah menggelar sidang uji materi Undang-Undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT), khususnya Pasal 74. Dalam pasal tersebut, terdapat aturan yang mewajibkan perusahaan yang mengekplorasi alam baik langsung maupun tidak langsung, untuk melaksanakan tanggung jawab sosial kepada masyarakat (Corporate Social Responsibility/ CSR).

Sidang pengujian materi UU tersebut dilakukan atas permohonan Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN), Himpunan Pengusaha Muda Indoneia (HIPMI), dan Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (IWAPI). Menurut Ahli Hukum Perusahaan/Hukum Bisnis Prof Dr Hikmahanto Juwana, berdasarkan definisi UU PT, CSR bukan suatu kewajiban yang dibebankan negara kepada PT. Akan tetapi, sebuah bentuk komitmen perseroan demi meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat. Sidang judicial review ini akan dilanjutkan pada 18 Februari.

Permohonan uji materi UU No 40/2007 ini mendapat perhatian mantan MenterI Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) 1998-1999, Prof Dr Haryono Suyono. Menurutnya, setiap orang berhak menyampaikan tuntutan. Yang perlu diperhatikan adalah apakah mereka memiliki alasan tepat untuk menuntut atau tidak. “Dalam hal ini, saya rasa mereka tidak punya alasan tepat untuk mengajukan judicial review. Karena tanpa peraturan pun, mereka (pengusaha) seharusnya menyumbangkan bantuan kepada lembaga-lembaga sosial untuk kemudian disalurkan kepada masyarakat,” kata Haryono kepada Merdeka, Rabu (4/2).
Peraturan kewajiban CSR hanya untuk menyentuh hati nurani perusahaan agar lebih peduli menjalankan tugas serta tanggung jawab sosial kepada masyarakat dan lingkungan.

Mantan anggota kabinet era pemerintahan Soeharto ini mencontohkan, korporasi di luar negeri telah membentuk yayasan agar program kepedulian sosial mereka bisa tertangani secara baik. Salah satu perusahaan yang berhasil melaksakan kewajiban sosialnya adalah Ford Motor Company. Ford telah menghadirkan kantor-kantor perwakilan Ford Foundation di negara-negara yang menjadi target pasar produknya.

Bercermin pada keberhasilan Ford dalam menjalankan CSR, Haryono menyarankan para pengusaha untuk memaksimalkan CSR. “Daripada menuntut judicial review, para pengusaha lebih baik menuntut hak untuk mengkonsentrasikan program CSR mereka pada daerah-daerah yang jadi target pemasaran produk mereka,” kata Haryono yang menjabat Ketua Yayasan Damandiri.

Haryono mengatakan, UU itu hanya perlu diperbaharui. Jika tidak, target Millenium Development Goals (MDGs) 2015 untuk menggunting angka kemiskinan hingga 50% tidak akan tercapai atau terancam gagal.

“Program yang ada saat ini harus diubah. Seharusnya program-program tersebut bukan lagi charity, seperti sekolah gratis dan sebagainya. Jika program-program tersebut tetap dipertahankan, rakyat akan tetap miskin gagasan, miskin kemauan, dan miskin keinginan untuk maju,” tegasnya.

Ada delapan poin MDGs yang harus dicapai pada 2015, yaitu memberantas kemiskinan dan kelaparan, meningkatkan pendidikan, persamaan gender, mengurangi kematian anak, meningkatkan kesehatan ibu, memerangi HIV/AIDS, pelestarian lingkungan, dan mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan.

Untuk menyelamatkan tujuan MDGs 2015, lanjut Haryono, siapa saja yang memenangkan pemilu 2009 segera melaksanakan program yang sifatnya memberdayakan masyarakat.

“Misalnya, memberikan modal bantuan yang bunganya ditanggung pemerintah corporate kepada keluarga kurang mampu, dengan syarat anak-anak mereka tetap bersekolah. Jadi, bukan anak saja yang merasakan manfaat program, tetapi juga orang tua dan keluarga,” katanya.

Ia juga menegaskan, lembaga-lembaga sosial harus diberdayakan untuk mengimbangi fasilitas pemerintah. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar