Minggu, 15 Maret 2009

“Korporat Belum Siap ISO 26000”


BELUM jelas bagaimana hasil uji materi Pasal 74 UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, kini dunia korporat akan dihadapkan pada ISO 26000. Kabarnya, ISO 26000 ini akan diberlakukan antara 2010 dan 2011. Lalu sudah siapkah korporat di Indonesia menyambut ISO 26000?

Dalam wawancara khusus dengan wartawan Merdeka Erlin Sitinjak, Aktivis Lingkar Studi CSR Jalal mencoba meramalkan kesiapan perusahaan di Indonesia dalam menyambut ISO 26000 dengan meluruskan konsep CSR. Berikut petikannya;

Bagaimana Anda mendefinisikan konsep CSR?

Kami membuat definisi CSR versi Lingkar Studi CSR setelah membaca sekitar 4.500 artikel dan 200 buku tentang CSR. Jadi, setelah meneliti semua bacaan tersebut, kami mendefinisikan CSR sebagai upaya sungguh-sungguh atau komitmen perusahaan. Bukti komitmen ini adalah curahan sumber daya. Sumber daya bukan cuma uang, tetapi orang dan organisasi. Lalu upaya sungguh-sungguh itu dalam hal apa? Pertama, meminimumkan dampak negatif. Kedua, karena perusahaan hampir mustahil mengurangi dampak negatif hingga nol, pasti selalu ada dampak negatif residual. Jadi, perusahaan harus mengkompensasi dampak negatif residual tersebut. Ketiga, bagaimanapun, perusahaan punya dampak positif, seperti membuka lowongan pekerjaan, menyediakan produk. Jadi, perusahaan juga harus memaksimumkan dampak positifnya. Tiga upaya ini harus dilakukan dalam ranah ekonomi, sosial, dan lingkungan.

Mengapa banyak perusahaan melaksanakan CSR tapi tetap berkonflik dengan masyarakat?

Mereka ingin tampak memaksimumkan dampak positif, tetapi lupa atau sengaja tidak meminimumkan dampak negatif dan mengkompensasi dampak positifnya. Selama perusahaan tidak meminimumkan dampak negatif, masyarakat akan tetap kecewa. Bayangkan perusahaan migas yang mencemari laut. Nelayan merasakan dampak negatif, mereka kehilangan mata pencaharian. Jika perusahaan ini tidak meminumkan dampak negatif dan hanya mendirikan masjid, lapangan voli, masalah tidak akan selesai. Berapapun yang diberikan perusahaan memang akan diterima masyarakat. Tetapi, mereka juga sadar dampak negatif dari perusahaan merugikan kehidupan mereka.

Apakah perusahaan telah melaksanakan usaha tersebut secara optimal?

Saya melihat perusahaan di Indonesia belum optimal meminimumkan dampak negatifnya. Sebetulnya, pilihan teknologi untuk meminimumkan dampak negatif tersebut sangat banyak. Misalnya, salah satu perusahaan pertambangan di Kalimanta. Perusahaan ini sudah mempunyai teknologi untuk membuat cekungan hasil kegiatan pertambangan menjadi sumber air minum. Teknologinya ada. Perusahaan lain justru membiarkannya menjadi kubangan air dan asam.

Menyoal definsi Anda bahwa CSR terkait usaha meminimalkan dampak negatif. Lalu apa bedanya dengan Amdal?

Komponen utama paling penting dari CSR adalah knowing the impact, negatif maupun positif. Jadi, Amdal adalah unsur sangat penting untuk menjalankan CSR. Bahkan, menurut saya, perusahaan yang punya Amdal harus melihat ini sebagai kitab renstra CSR. Masalahnya, sebagian besar kitab ini masih buruk karena banyak perusahaan membuat Amdal asal-asalan. Mereka melihatnya hanya sebagai prasyarat administratif.

Apakah perusahaan dengan Amdal bisa dikatakan telah melaksanakan CSR secara baik?

Belum. Buktikan bahwa dia sudah melakukan RKL (Rencana Pengelolaan Lingkungan) dan RPL (Rencana Pemantauan Lingkungan) dengan benar. Jadi, punya Amdalyang baik merupakan prasyarat untuk menjalankan CSR dengan baik. Kalau Amdal-nya jelek, lupakan kemungkinan CSR-nya baik.

Apakah ini berarti kewajiban CSR hanya menjadi tanggung jawab pertambangan yang berdampak pada alam?

Siapa bilang? Saya sama sekali tidak setuju. Industri perkapalan, misalnya, membutuhkan energi sangat besar. Kalau kita hubungkan dengan climate change, siapa pun yang memakai energi pasti menghasilkan emisi karbon. Perkapalan memakan energi besar sehingga pasti mencemari lingkungan. Contoh lain, industri perbankan. Bagaimana kalau dana nasabah disalurkan untuk membiayai kegiatan perusahaan yang memberikan dampak negatif terhadap lingkungan? Jadi, dampak utama perbankan adalah pilihan investasi yang dilakukan. Itu sebabnya, pakar CSR sepakat investor screening merupakan alat utama untuk memastikan bahwa investasi yang dilakukan tidak berdampak negatif terhadap lingkungan. Dan sepengetahuan saya, hanya bank-bank asing di Indonesia yang menandatangani standar yang disebut equator principal tersebut.

Bagaimana CSR terkait pekerja?

Ketika saya menyatakan CSR untuk seluruh pemangku kepentingan, itu berarti eksternal dan internal. Kalau kita lihat survei GlobeScan CSR Monitor, jelas sekali terlihat bahwa sebagian besar stakeholder global lebih mengutamakan CSR yang ditujukan untuk internal dulu. Jadi mereka membagi antara operational responsibilities dengan citizenship responsibilities. Operational responsibilities adalah tanggung jawab terhadap dampak, yakni lingkungan dan pekerja. Nah, saya kira di Indonesia, konsepnya masih terbalik. Yang dimunculkan adalah perusahaan-perusahaan yang mengaku menjalankan CSR dalam bentuk charity, donasi, dan lain sebagainya.

Melihat fakta ini, apakah Anda yakin korporat di Indonesia siap menghadapi ISO 26000?

ISO 26000 juga mendefinisikan CSR sebagai manajemen dampak, tanggung jawab organisasi terhadap dampak yang ditimbulkan melalui kebijakan, operasi dan aktivitasnya. Kalau ada perusahaan tidak setuju dengan konsep CSR, saya kira mereka tidak akan setuju juga terhadap ISO 26000.

Bukankah ISO ini hanya akan menjadi guideliness?

Memang tulisannya begitu. Pada tingkatan dokumen memang jadi guideliness, tetapi kan perlu juga diterjemahkan. Apalagi kalau perusahaan sudah sepakat dengan tujuh core subject yang termuat di dalam ISO 26000, mereka harus menerjemahkannya sebagai management system atau organizational government. Itu artinya ada policy dan SOP untuk memastikannya.

Apakah ada kemungkinan mendefinisikan perusahaan yang menandatangani ISO 26000 sebagai perusahaan baik?

Tanda tangan ISO 26000 tidak mengarah ke sana. Sampai sekarang, ISO 26000 tidak akan menjadi alat sertifikasi. Kalau kita belajar dari sejarah, ISO 9000 tentang mutu dan ISO 14000 tentang lingkungan pada awalnya juga hanya guideliness. Tetapi kemudian, ketika perusahaan eksport yang mengirim produk ke AS dan bertemu importir yang hanya membeli produk dengan standar mutu jelas, akhirnya perlu mekanisme standar ISO 9000.

Bukankah UU No.40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bisa jadi batu loncatan menuju kesiapan korporat menghadapi ISO 26000?

Daripada mengeluarkan UU No 40 Tahun 2007, lebih baik pemerintah menetapkan format pelaporan CSR yang jelas. Jika sudah ada format pelaporan yang jelas, terbukalah kinerja CSR perusahaan. Tidak perlu ada superbodi seperti Dewan CSR. Lebih baik, pemerintah memaksimalkan badan dan regulasi yang sudah ada. Misalnya, KLH diserahkan kekuasaan lebih tinggi untuk memberikan sanksi kepada perusahaan yang merusak lingkungan. Begitu juga dengan kementrian terkait. Kita juga sudah punya regulasi yang menyinggung ketujuh poin dalam ISO 26000. Masalahnya regulasi yang ada tidak setinggi ISO 26000. Masalah semakin buruk lagi ketika banyak kinerja perusahaan jauh di bawah regulasi. Ini menunjukkan bahwa perusahaan belum siap menghadapi ISO 26000. Mereka masih sangat jauh dari siap. Bahkan, menurut saya, kita tidak akan pernah siap karena terlalu banyak perusahaan tidak mau belajar. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar