Rabu, 27 Mei 2009

CSR TIDAK PERLU DIATUR DALAM UU

Corporate Social Responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial perusahaan sebenarnya tidak perlu diatur dalam undang-undang (UU) karena CSR bukan kewajiban hukum tetapi lebih merupakan komitmen perusahaan.

"Hanya di Indonesia saja CSR diatur dalam UU, kalau di negara lain CSR sudah menjadi roh perusahaan," kata Presiden Direktur BHP Billiton, Muliawan Margadana, dalam diskusi Strategic CSR di Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Jumat.

Menurut dia, perusahaan yang telah menerapkan CSR cenderung memiliki kondisi keuangan yang lebih baik dibanding dengan perusahaan yang belum melaksanakan CSR.

"Dengan melihat kondisi tersebut, perusahaan tidak lagi merasa bahwa CSR adalah sebuah biaya khusus yang harus dikeluarkan, tetapi telah menganggapnya sebagai investasi," ujarnya.

Pelaksanaan CSR di Indonesia telah diatur dalam UU, yaitu UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing.

Ia menyatakan, dengan melakukan CSR sebuah perusahaan lebih mampu meningkatkan keuntungan dan juga meningkatkan hubungan baik dengan investor serta masyarakat di sekitar perusahaan.

Namun demikian, kata Muliawan, terdapat beberapa kesulitan dalam melaksanakan CSR di Indonesia diantaranya adalah desentralisasi wilayah yang memungkinkan pemerintah daerah membuat kebijakan lokal, serta keberagaman budaya masyarakat di Indonesia.

Sementara itu, Direktur Amerta Social Consulting and Resourcing, Riza Primahendra menyatakan bahwa CSR di Indonesia sudah menjadi kewajiban hukum sehingga bersifat memaksa.

"Seharusnya, UU itu berfungsi melindungi pelaksanaan CSR dan bukannya memaksa," katanya.

Selain itu, Riza mengatakan bahwa terjadi pengertian yang salah mengenai CSR di Indonesia yang disamakan dengan dana.

Menurut dia, kondisi tersebut terjadi karena dalam beberapa tahun terakhir, penyerapan anggaran oleh pemerintah daerah sangat rendah yaitu kurang dari 60 persen, sehingga pemerintah daerah kemudian berpikiran bahwa CSR dapat digunakan sebagai dana.

Pada prinsipnya, kata Riza, seluruh aspek bisnis di perusahaan bisa dimasukkan sebagai CSR. (Antara)

Senin, 13 April 2009

Diduga, Dana CSR Diselewengkan



PEMERINTAH Provinsi (Pemprov) Nusa Tenggara Barat (NTB) kini masih mempelajari kemungkinan adanya penyimpangan dalam pemindahan atau transfer dana Peduli Sosial Kemasyarakatan untuk Corporate Sosial Responsibility (CSR) yang disalurkan PT. Bank NTB.

Gubernur NTB, HM Zainul Majdi menjawab pertanyaan wartawan di Mataram, Rabu, mengaku telah menerima laporan mengenai temuan dana CSR Bank NTB yang tidak ditransfer melalui rekening resmi pemerintah daerah dari LSM Solidaritas Masyarakat untuk Transparansi (Somasi).

"Saya sudah menerima laporan dari Somasi NTB mengenai temuan-temuan itu, dan kini sedang kita pelajari," katanya.

Ia mengatakan, sejak memangku jabatan sebagai Gubernur pada 17 September 2008, dirinya belum pernah bersentuhan sama sekali dengan dana CSR dari PT. Bank NTB itu.

"Pemprov NTB menginginkan agar aturan main terkait masalah ini harus jelas, pemerintah tidak menginginkan masyarakat daerah ini dirugikan, pemprov adalah pemilik saham mayoritas di PT. Bank NTB, selebihnya dimiliki sembilan kabupaten/kota yang ada di daerah ini," ujarnya.

Koordinator Badan Pekerja Somasi NTB, Ervyn Kaffah, mengatakan, pada tahun 2004, pihaknya menemukan dana peduli sosial kemasyarakatan ini disalurkan melalui rekening khusus atas nama kepala daerah, padahal menurut aturan harus melalui rekening resmi pemerintah daerah.

Pada 2004, setidaknya ada Rp940,89 juta dana CSR yang disalurkan PT. Bank NTB kepada pemerintah daerah baik pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota dan Somasi memiliki tujuh salinan resmi kalau dana ini tidak ditransfer melalui rekening resmi milik pemerintah daerah.

Dana tersebut ditransfer ke rekening atas nama kepala daerah setiap tahun dan dalam kurun waktu 2003-2004, jumlah dana CSR yang ditransfer PT. Bank NTB mencapai Rp4,5 miliar, ini sesuai prosentase kepemilikan saham Bank NTB.

Corporate Sekretari PT. Bank NTB, Siti Umaryati mengatakan, pihaknya belum bisa memberikan komentar banyak terkait mekanisme transfer dana CSR ini, namun yang jelas dana CSR itu disalurkan bank NTB ke pemerintah daerah dan rekening tersebut memang atas nama kepala daerah.

Menurut dia, kewajiban PT. Bank NTB untuk menyalurkan dana CSR yang telah disetujui RUPS, sementara penggunaan dana itu bukan lagi di bawah koordinasi Bank NTB, melainkan pemerintah daerah masing-masing.

Pihak PT. Bank NTB akan mempelajari transfer rekening dana CSR yang diduga bermasalah itu dan hasilnya akan disampaikan kepada publik

Selain ke Pemprov NTB, dugaan penyimpangan terkait transfer dana CSR tersebut dilaporkan secara resmi ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dikoordinasikan dengan Indonesian Corruption Watch di Jakarta. Antara

Minggu, 29 Maret 2009

Masuk Sekolah Memperkenalkan Tambang


SEIRING waktu, jumlah perusahaan pertambangan yang beroperasi di Indonesia terus bertambah. Dampaknya pun semakin banyak, baik terhadap sosial, ekonomi, maupun lingkungan. Dampak positif memang ada, namun tak sebanding dengan dampak negatifnya. Buntutnya, tak mengherankan bila sebagian besar perusahaan pertambangan di negeri ini mendapat tempat negatif di hati masyarakat.

Melihat fenomena tersebut, PT Indo Tambangraya Megah, perusahaan pertambangan batu bara yang baru saja menjadi perusahaan Tbk pada tahun lalu, mencoba mencuri hati masyarakat lewat program CSR yang diberi nama ITM untuk pendidikan. Berikut petikan wawancara Erlin Sitinjak dari Merdeka dengan Melina M Karamoy, Corporate Communications PT Indo Tambangraya Megah Tbk.

Sejak kapan program ITM memulai pelaksanaan program CSR?

Secara umum, khususnya di daerah Kalimantan, sudah ada divisi tersendiri yang menangani, yaitu divisi community development. ITM untuk pendidikan bersifat lebih umum. Artinya, tidak dikhususkan untuk community. Kegiatan ini dapat saja dilaksanakan di Jakarta, Irian, hingga Sumatera. Tetapi ITM untuk pendidikan baru dilaunching November 2008.

Setelah sekian lama berdiri, mengapa ITM baru meluncurkan program ITM untuk pendidikan?

Untuk di Jakarta, gaung untuk ITM pendidikan memang baru tahun lalu, karena sebelumnya program CSR ITM sangat beragam dan hanya menjangkau daerah-daerah di sekitar tambang. Namun, semenjak ITM menjadi Tbk, semua entity wajib melakukan program CSR. Kalau selama ini daerah sudah melakukan, bagaimana dengan pusat? Oleh karena itulah kita melahirkan ITM untuk pendidikan

Artinya, program ini khusus untuk dunia pendidikan?

Ya. Fokusnya memang untuk pendidikan. Tetapi, kita tetap melihat ke banyak aspek. Saat ini kita hanya tekankan pada pendidikan dasar karena kita melihat banyak aspek di situ. Ada pendidikan formal dan nonformal. Kemudian, ITM pendidikan kita bagi menjadi tiga program, yaitu volunteer@ksi, cerd@sajar, dan Tambang Untuk Anak. Masing-masing punya tujuan sendiri. Tetapi semuanya tergabung dalam program ITM untuk pendidikan.

Dapat dijelaskan pelaksanaan masing-masing program ini?

Volunter@ksi kita bentuk atas adanya kesadaran akan kebutuhan volunteer. Kita melihat banyak kebutuhan dari relawan pendidikan. Mereka membutuhkan support dari instansi. Oleh karena itu, kita menyatakan kepedulian terhadap kebutuhan relawan dengan melaunching program volunter@ksi pada 21 Februai lalu. Program ini direalisasikan dengan mendukung program-program relawan, seperti Ibu Koeswanti.

Cerd@sajar belum diadakan. Tetapi program ini akan ditujukan pada guru-guru formal, khususnya guru-guru yang mengajar bidang science. Kita mau membantu agar anak-anak yang selama ini melihat science sebagai momok senang belajar science. Hal ini kita lakukan dengan memfasilitasi guru-gurunya melalui program cerdas ajar.

Tambang Untuk Anak ditujukan untuk memperkenalkan dunia tambang kepada anak sejak usia dini. Artinya, mereka bisa mengenal dan mencintai dunia tambang. Hal ini kita lakukan dengan menerbitkan buku untuk anak yang diharapkan menstimulasi minat baca anak, khususnya tentang dunia tambang. Soalnya, dunia tambang terkesan hanya untuk orang dewasa. Hal ini terbukti dari beberapa obrolan ringan dengan beberapa anak karyawan ITM sendiri. Ketika diminta untuk menjelaskan pekerjaan orangtuanya, mereka masih bingung. Jadi, melalui buku ini, kita mencoba bercerita mengenai tambang batu bara. Dari situ, kita mulai berpikir, kenapa program ini tidak dilakukan ke luar. Jadi, selain untuk karyawan, kita juga melakukan untuk anak-anak lain. Akhirnya, kita lakukan program Tambang Untuk Anak. Kita ke sekolah-sekolah.

Ada berapa sekolah yang ditargetkan tahun ini?

Ada 50 sekolah. Tapi, hingga saat ini baru sekitar 20 sekolah yang sudah kita datangi. Untuk saat ini, kita fokuskan dulu ke sekolah anak-anak karyawan karena aksesnya lebih mudah. Tapi, ke depannya akan kita fokuskan ke sekolah-sekolah lain di Jabodetabek.

Apakah program Tambang Untuk Anak ditujukan untuk membentuk generasi yang tidak memandang negatif perusahaan pertambangan?

Mungkin yang dipandang negatif seluruh perusahaan pertambangan. Tetapi, kegiatan ini tidak sedikitpun ditujukan agar masyarakat tidak memandang kita secara negatif. Kita berbuat ini karena kita mau berbuat sebagai good citizen. Setelah itu, nanti orang mau menilai seperti apa, kita serahkan kembali kepada mereka.

Lalu apa sebenarnya tujuan yang ingin dicapai melalui program ini?

Kita mau supaya anak-anak maju. Bagaimanapun anak-anak adalah cikal-bakal yang pemikirannya masih murni dan belum terkontaminasi sehingga masih dapat dibentuk. ITM pendidikan diharapkan mampu mencetak anak-anak Indonesia yang berkualitas.

Mengapa dilaksanakan untuk wilayah Jabodetabek? Bukankah program CSR seharusnya lebih difokuskan pada daerah-daerah yang mengalami dampak langsung kegiatan pertambangan?

Di daerah, Community Development sudah punya program sendiri. Tetapi, kalau mereka mau melaksanakan program yang berkaitan dengan program ITM untuk pendidikan, pasti akan kita support. Kemarin memang ada di Bontang, kerja sama dengan lembaga kursus bahasa Inggris. Mereka juga menggunakan konsep story telling. Itu kita support. Jadi, kalau mereka memang mau melaksanakan kegiatan, pasti akan kita support.

Dibanding program CSR di daerah, apa keunggulan program ITM untuk pendidikan ini?

Untuk pendidikan dasar sih sama karena mereka reference-nya ke kita. Tetapi, tetap disesuaikan dengan kebutuhan nasing-masing daerah.

Berapa dana yang dianggarkan untuk program ini?

Kita itu lebih mau berbuat. Artinya berapa pun besarnya dana itu, tidak dapat dikompare dengan apa yang sudah dan akan kita perbuat. Kita lebih fokus pada melakukan sesuatu. Dengan menyebutkan nilai, tidak berarti kita telah melakukan sesuatu yang luar biasa. Kita tidak melihat di situ. Justru, kita lebih melihat dampak dari kegiatan tersebut. Jadi, berapa pun dana yang kita keluarkan, tetapi kalau itu hanya keluar secara nilai, tidak akan ada artinya. Tetapi, itu lebih kepada kualitas dari apa yang sudah kita lakukan.

Mungkin dalam bentuk persentase saja?

Di ITM tidak ada penentuan, untuk sektor ini sekian persen. Itu semua konsolidatif. Dari situ, baru kita bagi sesuai dengan porsi kita. Bisa jadi, ITM mendapatkan dana lebih besar. Tetapi, boleh jadi juga program-program khusus di daerah mendapatkan dana lebih besar. Yang pasti kita comply dengan pemerintah.

Apakah keengganan untuk menyebutkan jumlah dana yang dianggarkan untuk program CSR adalah salah satu bukti mengapa corporate menolak kebijakan pemerintah yang telah mengundangkan kewajiban CSR melalui UU No 40 Tahun 2007?

Kita selalu mendukung program pemerintah. Sebenarnya bukan keengganan. Kita lebih ingin dipandang sebagai perusahaan yang berbuat daripada sebagai perusahaan yang mengeluarkan dana yang sudah cukup besar, tetapi dampaknya kurang dirasakan. Bila dibandingkan dengan perusahaan pertambangan lainnya, apa yang kita lakukan masih sangat jauh karena mereka sudah lebih dulu melakukannya. Tetapi, bagi ITM tidak pernah ada kata terlambat.

Sampai kapan program CSR yang dilaksanakan oleh pusat difokuskan pada dunia pendidikan?

Karena ini program tambang lima tahun, selama lima tahun ke depan kita tetap fokus ke dunia pendidikan. (*)

Kamis, 26 Maret 2009

Penambangan, Dua Desa Nyaris Tenggelam


DESA Penago Baru dan Rawa Indah, Kecamatan Ilir Talo, Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu terancam musnah akibat pengerukan pasir besi besar-besaran yang dilakukan PT Famiaterdio sejak 2005.
Perusahaan ini, menurut Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Siti Maemunah, merupakan kontraktor pertambangan Fine Wealthy Ltd, asal Hong Kong yang mendapatkan Kuasa Pertambangan (KP) dari Bupati Seluma No 35 Tahun 2005 seluas 3.645 hektare.

Menurut siaran pes JATAM, areal konsesi tambang pasir besi itu berada di tiga Blok pertambangan, masing-masing; Blok I (450 hektare) yang berada di kawasan padat huni, Blok II (143 hektare) di Sempadan Pantai, dan Blok III (3.250 hektare).

Akibat penambangan itu, kata Maemunah, kawasan pantai yang dahulunya rimbun dengan hijau hutan bakau, seluas 10 hektare dan merupakan kawasan Cagar Alam Pasar Talo, kini nyaris ludes.
Sepanjang garis pantai, menurut dia, dalam tiga tahun terakhir terancam abrasi akut. Angin besar kerap menerpa pemukiman penduduk yang hanya berjarak 50 meter dari bibir pantai. Mayoritas masyarakat yang semula menggantungkan hidupnya dari hasil laut kini gigit jari.
Dikatakannya, perempuan pesisir yang sebelumnya memiliki tradisi mencari Kerang di bibir pantai tidak lagi dapat menjalankan aktivitasnya. Kerang-kerang laut yang sebelumnya banyak ditemui di pasir pantai tidak kelihatan lagi sejak kehadiran perusahaan penambangan itu akibat rusaknya kawasan pesisir.
Warga yang tinggal di sekitar operasi pengerukan, sejak 2006 sudah mulai merasakan perubahan rasa air tanah yang menjadi keasin-asinan.
Di wilayah daratan, kata Maemunah, warga yang saban hari menggantungkan hidupnya dari hasil sawah kerap gagal panen. (Antara)

Senin, 23 Maret 2009

18 Hari Kerja di Hitachi



DAMPAK krisis global yang makin menggigit membuat korporat harus mengambil langkah-langkah penting agar perusahaanya tetap eksis. Tidak sedikit perusahaan memilih melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK), meskipun masalah ketenagakerjaan termasuk dalam salah satu point ISO 26000 CSR. Hubungan ketenagakerajaan (hak buruh) ini juga termasuk dalam Global Reporting Initiative (GRI)—indikator penilaian CSR berstandar internasional.

PT Hitachi Contruction Machinery Indonesia juga mengalami dampak krisis global, namun tetap berusaha tetap eksis tanpa harus mengorbankan karyawan. Cara yang dilakukan dengan mengurangi hari kerja dari 22 hari menjadi 18 hari.

Untuk mengungkap masalah yang terjadi di perusahaan dan bagaimana kebijakan di masa krisis, wartawan Merdeka Erlin Sitinjak mewawancarai Corporate Secretary & CSR Section PT Hitachi Construction Machinery Indonesia Christine Y. Berikut petikannya;

Sejak kapan Hitachi memiliki section khusus program CSR?

Hampir tiga tahun. Tapi, (section) ini khusus untuk PT Hitachi Construction Machinery Indonesia. Kalau untuk Hitachi Asia sendiri mungkin sudah cukup lama.

Apa yang melatari pembentukan section?

Kita sadar bahwa kita juga harus concern terhadap lingkungan kita. Artinya, bukan karyawan saja yang harus kita perhatikan, tetapi juga lingkungan di sekitar pabrik kita. Kita tidak mau terkesan sebagai pihak yang hanya mengambil keuntungan dari daerah tempat kita beroperasi tanpa ada kontribusi kepada masyarakat.

Pakar CSR memprediksi di tengah krisis global, korporat cenderung meng-cut dana CSR. Apakah Hitachi melakukan hal tersebut?

Bukan meng-cut dana, tetapi mengurangi. Terus terang, Hitachi sangat merasakan dampak krisis global ini. Mau tidak mau, budget untuk program CSR harus dikurangi. Saat ini, kita memprioritaskan program pendidikan daripada kegiatan lain seperti penanaman pohon.

Apa alasannya memilih program pendidikan?

Karena kita merasa program pendidikan lebih perlu daripada program penanaman pohon. Kita melihat tingkat kepentingannya dulu. Jadi, lebih baik kita mensejahterakan masyarakat dulu.

Bisa dijelaskan bagaimana program pendidikan yang diterapkan?

Kita memberikan kursus gratis untuk anak-anak sekolah di sekitar pabrik. Sebenarnya kursus ini khusus untuk anak-anak berprestasi tetapi kurang mampu. Namun, kita tidak bisa menolak ketika mereka juga mengajak teman-temannya hingga jumlah peserta kursus terus meningkat setiap tahunnya. Mungkin tahun ini, perhatian kita terhadap dunia pendidikan mencapai 70%.

Bagaimana dengan stakeholder lainnya seperti karyawan, karena mereka rentan di masa krisis?

Sebetulnya manajemen sudah berusaha tidak mengurangi jumlah karyawan. Bagaimanapun, karyawan adalah aset perusahaan. Tidak seperti mesin, tidak mudah mendapatkan karyawan baru yang kualitasnya sama dengan karyawan terdahulu. Tetapi, usaha itu tidak bisa dipertahankan. Akhirnya, kita harus mengurangi karyawan dan mengurangi jam kerja.

Bagaimana pelaksanaan pengurangan karyawan Hitachi?

Seperti perusahaan-perusahaan lain, yang pertama dikurangi adalah harian lepas. Kemudian, karyawan kontrak. Hitachi juga sudah melakukan pengurangan jam kerja, tetapi belum sampai ada pemutusan hubungan kerja.

Pelaksanaannya seperti apa?

Kalau biasanya kita ada tiga shift, sekarang hanya dua shift. Kita juga tidak ada lembur lagi. Jadi, kegiatan kita benar-benar dari pukul 08.00-15.00. Lalu, kalau biasanya kita mencari hari pengganti ketika terjadi pemadaman bergilir, sekarang tidak lagi. Kita juga ada istilah no working days.

Bisa dijelaskan mengenai no working days?

Bila pemadaman bergilir terjadi pada hari-hari terjepit (di antara dua hari libur), kita liburkan saja. Tidak terlalu banyak sih. Akan tetapi kalau dihitung, dari 22 hari kerja ada empat no working days.

Apakah ini tidak mengganggu kegiatan perusahaan?

Order kita juga sudah berkurang hingga 40%. Jadi, mau tidak mau, itu harus dilakukan.

Dengan masalah yang tengah dihadapi saat ini, apa harapan perusahaan?

Kita mencoba me-refresh program-program CSR Hitachi group dan manfaatnya bagi perusahaan sendiri. Biasanya dalam pertemuan seperti ini, ada program-program yang bisa kita adaptasi sesuai dengan kondisi lingkungan di sekitar kita.

Minggu, 22 Maret 2009

TPL Mencoba Mendongkrak Citra

PERISTIWA bentrokan warga Porsea dan PT Indorayon Inti Utama telah lama berlalu. Namun, kejadian tersebut masih membekas di benak warga maupun pihak perusahaan pengolahan kayu serta kertas itu. Hal inilah yang sedang dihadapi PT Toba Pulp Lestari (TPL) yang mengambilalih posisi PT Indorayon Inti Utama pada 2003.

“Pasca-kerusuhan, kami seolah menjadi terpidana yang bertanggung jawab atas segala hal yang terjadi di daerah tersebut,” kata Direktur PT TPL Mulia Nauli.

Sebagai perusahaan yang bergerak di sektor sama, PT TPL mau tidak mau harus merasakan suramnya dunia usaha akibat image negatif itu. Tidak ada kepercayaan dari masyarakat. Setiap kebaikan yang dilakukan perusahaan dicurigai sebagai langkah diam-diam demi mendapatkan sesuatu yang lebih dari masyarakat. Tidak hanya itu, masyarakat selalu merasa pemberian perusahaan masih kurang.

“Tentang hal itu, kita bisa mengertilah. Kita ini ibarat satu-satunya bus berkapasitas 40 penumpang yang dihadapkan ribuan orang yang ingin naik. Mana bisa?” katanya pada Merdeka.

Sekarang ini, PT TPL sedang berusaha mengembalikan citra. Untuk itu, PT TPL membentuk divisi khusus untuk melaksanakan CSR pada 2005. Dan, perusahaan berkomitmen menyisihkan 1% dari net sales untuk pengembangan masyarakat.

Jenis Program

Lebih lanjut dijelaskan CSR Section Head PT TPL Lambertus Siregar, dana tersebut digunakan untuk membiayai program pendidikan, kesehatan, lingkungan, charity, ekonomi, dan sosial. Targetnya adalah petani miskin, nelayan miskin, siswa berprestasi, orang sakit tak mampu, dan kontraktor lokal di delapan wilayah kabupaten kota, yaitu Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Humbahas, Toba Samosir, Samosir, Dairi, Pakpak, dan Simalungun.

Pada tahun pertama pelaksanaan CSR, TPL menginvestasikan dana senilai Rp 3,11 miliar. Pada 2007, TPL menginvestasikan dana senilai Rp 12,5 miliar. “Peningkatan dana ini menunjukkan peningkatan dan kemajuan industri TPL. Selain itu, menunjukkan komitmen perusahaan untuk mendampingi masyarakat melalui program-programnya,” katanya. (Erlin Sitinjak/Harian Merdeka)

Tiga Penghargaan CFCD untuk TPL

-Terbaik 3 bidang Lingkungan untuk Program Efisiensi Energi melalui Manajemen Pengolahan Limbah

-Terbaik 2 bidang Ekonomi Program Pertaninan Terpadu Berbasis Peternakan Sapi Bali

-Terbaik 3 bidang Sosial Program Pendidikan Sekolah di Yayasan Bona Pasogit Sejahtera

Jumat, 20 Maret 2009

UMKM Dibebani Bunga 1,5%-2,5%



USAHA Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) akan mendapat bantuan dana untuk mengembangkan usahanya. Manulife Indonesia melalui Yayasan Manulife Peduli (YMP) menggulirkan dana Rp 1 miliar. Diharapkan, dana tersebut akan menyentuh 200 pengusaha mikro. Akan tetapi, setiap peminjam akan dikenakan bunga 1,5%-2,5% per bulan.

Wakil Presiden Direktur Manulife Indonesia yang juga Dewan Pengawasan Yayasan Manulife Peduli Adi Purnomo menegaskan, program ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk kepentingan bisnis. “Pembebanan bunga kepada mereka bukan semata-mata bunga komersial. Bunga yang dibayarkan penerima kredit adalah untuk menjamin program ini tetap running. Tidak ada intention untuk komersial,” jelas Adi.

Adi mengatakan, program ini memang untuk membantu para pengusaha UMKM. “Tetapi bukan berarti program ini for free,” tambahnya.

Demi menjamin setiap pihak yang terlibat dalam program berubah peran jadi rentenir, Adi menjelaskan, Care Indonesia maupun PT Bina Insan Sejahtera Mandiri akan melaporkan perkembangan para penerima kredit setiap bulannya. Bahkan, ia menjamin, program ini legal karena PT Bina Insan Sejahtera Mandiri tidak langsung berperan sebagai penyalur dana bantuan.

“Kita kan bukan bank. Jadi, kita memakai lembaga yang memang punya lisensi melakukan kegiatan tersebut. Kita bekerja sama dengan PT Bina Insan Sejahtera Mandiri dan Care Indonesia. Kemudian, kita duduk dalam komite seleksi untuk memilih koperasi yang akan menyalurkan dana ini,” ujarnya.

Diakuinya, program ini belum sempurna karena masih terbatas pada bantuan finansial. Setidaknya, hingga saat ini, pihaknya belum memberikan bantuan teknis sebagaimana dibutuhkan pengusaha UMKM seperti soal manajemen. “Kita juga berpikir ke arah sana. Tetapi, kita tidak mau berpikir terlalu jauh hingga dana tidak jadi bergulir,” tandasnya.

Untuk diketahui, program pengembangan kredit mikro ini akan berlangsung selama 3 tahun. Sebelumnya, Manulife Indonesia telah menggandeng Private Enterprises Participation dan Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia untuk memberikan kredit mikro kepada para pelaku usaha di Nanggroe Aceh Darussalam pada 2001-2005. (Erlin Sitinjak/Harian Merdeka)

Kamis, 19 Maret 2009

‘Living with HIV’



KETIKA meluncurkan kartu multifungsi JustOne Card di Mal Taman Anggrek, Standard Chartered Bank (SCB) mendirikan sebuah stand khusus untuk berbagi informasi dan kepedulian terhadap penderita HIV/AIDS.

Di dalam stand terdapat beberapa merchandise hasil karya para karyawan SCB untuk dijual kepada para pengunjung maupun customer. “Lumayan sudah banyak yang terjual. Dari kita harga cinderamata hanya Rp 50 ribuan, tetapi banyak yang membayar jauh dari harga itu,” kata Patty, salah satu pegawai SCB. Bukan hanya itu, dua kaos putih yang dipasang juga sudah dipenuhi tandatangan pengunjung yang mengaku concern pada HIV/AIDS.

Corporate Communications SCB A Arno Kemaputra saat dihubungi Merdeka, mengatakan keberadaan stand tersebut merupakan salah bentuk kepedulian dan tanggung jawab sosial perusahaan dalam meluruskan pemahaman masyarakat tentang HIV/AIDS dan penderitanya. Kegiatan ini diharapkan tak hanya berhasil mengumpulkan dana, tapi juga pemahaman dan kepedulian orang terhadap kondisi penderita HIV/AIDS.

“SCB mempunyai sejumlah program kemasyarakatan yang lebih dikenal sebagai program CSR. Salah satunya adalah program Living with HIV. Dalam program tersebut, kita ingin tidak hanya melibatkan karyawan dan masyarakat, tetapi juga nasabah. Kami percaya, dengan melibatkan lebih banyak stakeholder, semakin besar pula hasil yang didapat,” ungkap Arno. Ia yakin keberadaan stand tersebut akan memunculkan keterikatan emosional antara nasabah dan penderita HIV. (Erlin Sitinjak/Harian Merdeka)

Rabu, 18 Maret 2009

"Tanpa CSR, Warga Sudah Makmur”


MASYARAKAT di kawasan Gunung Tumpang Pitu, Kecamatan Pesanggrahan, Banyuwangi, Jawa Timur, tetap menolak beroperasinya perusahaan pertambangan emas PT Indo Multi Niaga (IMN). “Tanpa adanya PT IMN ataupun community development, kami sudah makmur di tanah ini,” kata Koordinator Koalisi Tolak Tambang Tumpang Pitu Hardi Trimarto kepada Merdeka, Rabu (18/3).

Hardi mengatakan itu untuk menanggapi adanya tujuh kesepakatan pelaksanaan program CSR PT IMN. Kesepakatan itu diambil dalam pertemuan antara PT IMN, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi, dan perwakilan warga dari lima desa di Banyuwangi, Selasa (17/3).

Site Coordinator PT IMN Reffaisal Achmaddin mengatakan, ada tujuh kesepakatan CSR berupa penanaman 10 ribu bibit pohon sengon, penanaman tanaman buah-buahan, bantuan alat tangkap nelayan, perbaikan irigasi, pavingisasi di sejumlah sekolah, pembangunan MCK di Pasar Andil Desa Pesanggaran, dan pengadaan seragam Paskibra untuk Kecamatan Pesanggaran. Seluruh pendanaan dari investor.

Seperti dikutip Antara, pembahasan kesepakatan yang digelar di Aula Sritanjung Banyuwangi itu berlangsung tertutup. Pembahasan dihadiri pihak Pemkab Banyuwangi, PT IMN, Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat (LPPM) Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta, dan perwakilan warga dari Desa Sumberagung, Pesanggaran, Wringin Mulyo, Kandangan, dan Sarongan.

Manipulasi Perusahaan

Hardi sendiri mengaku tidak tahu menahu kesepakatan tersebut. Selama ini, lanjutnya, masyarakat setempat memang tidak diajak berdialog. “Meskipun telah berkomitmen untuk menjalankan program community development, PT IMN sama sekali tidak pantas untuk beroperasi di daerah tersebut karena hanya akan mengancam kehidupan masyarakat,” tegas Hardi.

Ia juga menyangkal informasi yang menyebutkan warga Banyuwangi pernah menuntut pemberian Rp 100 ribu per hari untuk masing-masing kepala keluarga. Menurutnya, tuntutan yang tidak masuk akal ini hanyalah manipulasi PT IMN dan Tim 17 yang segaja dibentuk perusahaan untuk mengatasnamakan 12.000 warga.

“Kami tidak pernah meminta apapun dari PT IMN, karena Tumpang Pitu tidak bisa diganti dengan apapun,” jelasnya.

Sekretaris Koalisi Tolak Tambang Tumpang Pitu Edi Sujiman menambahkan, penerapan CSR hanya upaya perusahaan untuk memecah kekuatan kontra tambang. Apalagi, dalam dokumen tersebut hanya menyinggung masalah sosial di darat. Sedangkan di wilayah perairan laut bakal terjadi dampak fatal akibat pertambangan.

"Saya pikir program itu hanya sesaat. Perlu ditegaskan bahwa meski IMN menerapkan CSR, namun tak sebanding dengan tingkat kerusakan alam akibat eksploitasi Gunung Tumpang Pitu,” tandasnya. (Erlin Sitinjak/Harian Merdeka)

Rakyat Jangan Jadi Tumbal


PENAMBANGAN emas yang dilakukan PT Indo Multi Niaga (IMN) di sekitar Gunung Tumpang Pitu, Banyuwangi, Jawa Timur, mendapat penolakan keras dari masyarakat. Bahkan sekitar 95% masyarakat menolak eksploitasi kekayaan alam Tumpang Pitu.

Penolakan terhadap operasional PT IMN sebenarnya telah berlangsung sejak 2006. Tepatnya sejak dokumen analisis dampak lingkungan (Amdal) dikeluarkan. Aksi penolakan semakin menjadi setelah DPRD Banyuwangi mengeluarkan surat rekomendasi No. 005/758/429.040/2007 tentang Peningkatan Status Eksplorasi menjadi Eksploitasi tambang emas di Tumpang Pitu. Namun lantaran gerakan mereka tidak membuahkan hasil, perwakilan warga datang ke Jakarta dan mengadukan masalahnya.

Selain mendatangi Komisi IV DPR RI, Departeman Kelautan dan Perikanan, masyarakat yang menamakan diri Koalisi Tolak Tambang Tumpang Pitu juga mengadu ke Komnas HAM.

Ketua Koalisi Tolak Tambang Tumpang Pitu Hadi Trimanto mengatakan, masyarakat setempat sangat bergantung pada potensi kawasan hutan lindung Gunung Pitu. Sementara izin Amdal yang dikantongi PI IMN tidak melibatkan masyarakat. Hadi mengatakan izim Amdal itu cacat hukum dan sarat kepentingan pihak tertentu yang ingin meraup keuntungan.

Meski belum ada bukti tentang dampak negatif yang ditimbulkan akibat eksploitasi, Hadi yakin masyarakat Banyuwangi akan terkena dampaknya sebagaimana kasus Buyat dan Lapindo.

Menanggapi itu, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Siti Maimunah mengingatkan berbagai pihak untuk tidak menjadikan masyarakat sebagai tumbal dalan kegiatan penambangan emas. “Apalagi, penambangan emas ini belum tentu memberi keuntungan bagi bangsa,” tandas Maimunah.

Tiga Persoalan

Sementara Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) M Riza Damanik menjelaskan, terdapat tiga persoalan jika pertambangan dijalankan. “Perairan Banyuwangi dan sekitarnya merupakan open water (perairan terbuka), karena secara historis pernah mengalami tsunami. Keadaan ini menyebabkan perairan Banyuwangi rentan terhadap perluasan, khususnya ketika terjadi pencemaran. Perlu disadari, jika perairan ini tercemar, dampaknya akan meluas,” katanya.

Persoalan kedua, salah satu mata pencaharian masyarakat adalah nelayan kerang. Kerang merupakan filter feeder atau komunitas perikanan yang hidupnya tidak bergerak. Artinya, jika terjadi pencemaran dan berdampak pada kerang, masyarakat akan ikut terkontaminasi.

“Yang ketiga, pasca collapse-nya sumber daya perikanan di Bagan Siapi-api, kawasan ini merupakan primadona sektor perikanan. Jika dikalkulasi berdasarkan sumber daya ekonomi dan daya serap tenaga kerja, sumber daya perikanan di sana tidak hanya menjadi basis ekonomi, tetapi juga menyerap 50% tenaga kerja. Setelah diubah jadi kawasan pertambangan hanya menyerap maksimal 125 tenaga kerja kasar,” tegasnya. (Erlin Sitinjak/Harian Merdeka)


Kronologi Kasus PT IMN

23 Maret 2006 Bupati Banyuwangi Ratna Ani Lestari,SE MM mengeluarkan surat No 188/57/KP/429.012/2006 mengenai Kuasa Pertambangan Penyelidikan Umum kepada PT Indo Multi Cipta untuk jangka waktu 1 tahun.

7 November 2006 PT Indo Multi Niaga mengajukan permohonan peningkatan kuasa pertambangan ke tahap eksplorasi.

16 Februari 2007 Bupati memberikan kuasa pertambangan seluas 11.621,45 hektare.

5 Maret 2007 PT IMN mengajukan permohonan kegiatan eksplorasi tambang emas di kawasan hutan seluas 8.79,60 hektare kepada Menhut RI

6 Juli 2007 Gubernur Jatim H Imam Utomo S mengeluarkan rekomendasi izin penggunaan kawasan hutan untuk eksplorasi bijih emas.

27 Juli 2007 Dephut RI mengeluarkan izin kegiatan eksplorasi tambang emas di dalam kawasan hutan produksi tetap dan hutan lindung melalui surat No S.406/MENHUT-VII/PW/2007.

9 Oktober 2007 DPRD Banyuwangi mengeluarkan surat rekomendasi No: 005/758/429.040/2007 perihal peningkatan status eksplorasi menjadi eksploitasi tambang emas di Tumpang Pitu.

14 Agustus 2008 19 organisasi rakyat mendesak pencabutan surat rekomendasi DPRD.

15 Oktober 2008 Pertemuan dengan F-PDIP DPRD Jatim. Mereka sepakat mendukung gerakan menolak penambangan.

13 November 2008 Demo menolak rencana penambangan emas di Tumpang Pitu diikuti 7.000 massa. DPRD langsung mencabut surat rekomendasi itu.

24 November 2008 Muncul demo dari Aliansi Masyarakat Peduli Investasi Banyuwangi menyoal pencaburan rekomendasi DPRD.

15 Desember 2008 Warga menduduki Tumpang Pitu dan naik ke lokasi pengeboran PT IMN

19 Januari 2008 Perwakilan rakyat Tumpang Pitu berusaha menemui Menhut dalam kunjungan ke Pesantren Darussyafa’ah Baturejo, tapi dihalang-halangi.


Selasa, 17 Maret 2009

Penghargaan bagi Sebuah Prestasi



PT Excelcomindo Pratama Tbk. (XL) menganugerahi sejumlah warga negara Indonesia (WNI) yang berprestasi melalui program tahunan Indonesia Berprestasi (IB) Award.
"Tantangan yang harus dihadapi masyarakat Indonesia di tahun-tahun ke depan tetap saja tidak mudah. Kita tetap membutuhkan orang-orang luar biasa yang rela berkorban menyisihkan sebagian waktu dan tenaganya untuk berkarya guna meringankan beban masyarakat di sekitarnya," kata Presiden Direktur XL, Hasnul Suhaimi.

Menurut dia, bagi perusahaan telekomunikasi yang beroperasi sejak 1996 itu, orang-orang yang berprestasi tinggi perlu mendapat penghargaan agar dapat menjadi contoh bagi masyarakat yang lebih luas.
Oleh karena itu, sebagai salah satu bentuk program Corporate Social Responsibility (CSR), perusahaan yang mayoritas sahamnya dikuasai TM International Bhd itu meluncurkan program Indonesia Berprestasi (IB) Award 2009.
"Acara ini merupakan program tanggung jawab sosial perusahaan berupa penganugerahan kepada WNI berprestasi yang karya-karyanya bermanfaat bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat luas," katanya.
Melalui penghargaan ini, pihaknya berharap dapat ikut serta mendorong tumbuhnya motivasi masyarakat untuk mencari solusi-solusi alternatif secara mandiri dalam menghadapi persoalan sosial yang ada.
Penghargaan itu akan diberikan bagi WNI yang berprestasi dalam hal pendidikan, kewirausahaan, seni dan budaya, ilmu dan teknologi, serta sosial kemasyarakatan.
Program tersebut telah berlangsung tahunan dan telah memasuki tahun keempat pada 2009.
"Kami berharap tahun ini jumlah kandidat semakin banyak dan daerah asalnya juga semakin luas, termasuk dari pelosok-pelosok negeri ini," katanya.

Ia menambahkan, pihaknya juga berharap kualitas karya kandidat yang terjaring semakin tinggi dengan nilai kemanfaatan bagi publik semakin besar.
Pihaknya akan mulai efektif menerima rekomendasi dan pendaftaran untuk para calon penerima award yang akan diumumkan pada Oktober 2009. Tahun lalu, panitia menerima setidaknya 900 calon yang diusulkan.
Tim juri yang bertugas untuk menyeleksi yaitu Prof. Dr. Umar Anggoro Jenie (Ketua LIPI), Imam B. Prasodjo (sosiolog), Dr. Ninok Leksono (Senior Redaktur), Adrie Subono (wirausahawan), Artika Sari Devi (selebritis), dan Dian Siswarini (Direktur Network XL). (Antara)

Minggu, 15 Maret 2009

“Korporat Belum Siap ISO 26000”


BELUM jelas bagaimana hasil uji materi Pasal 74 UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, kini dunia korporat akan dihadapkan pada ISO 26000. Kabarnya, ISO 26000 ini akan diberlakukan antara 2010 dan 2011. Lalu sudah siapkah korporat di Indonesia menyambut ISO 26000?

Dalam wawancara khusus dengan wartawan Merdeka Erlin Sitinjak, Aktivis Lingkar Studi CSR Jalal mencoba meramalkan kesiapan perusahaan di Indonesia dalam menyambut ISO 26000 dengan meluruskan konsep CSR. Berikut petikannya;

Bagaimana Anda mendefinisikan konsep CSR?

Kami membuat definisi CSR versi Lingkar Studi CSR setelah membaca sekitar 4.500 artikel dan 200 buku tentang CSR. Jadi, setelah meneliti semua bacaan tersebut, kami mendefinisikan CSR sebagai upaya sungguh-sungguh atau komitmen perusahaan. Bukti komitmen ini adalah curahan sumber daya. Sumber daya bukan cuma uang, tetapi orang dan organisasi. Lalu upaya sungguh-sungguh itu dalam hal apa? Pertama, meminimumkan dampak negatif. Kedua, karena perusahaan hampir mustahil mengurangi dampak negatif hingga nol, pasti selalu ada dampak negatif residual. Jadi, perusahaan harus mengkompensasi dampak negatif residual tersebut. Ketiga, bagaimanapun, perusahaan punya dampak positif, seperti membuka lowongan pekerjaan, menyediakan produk. Jadi, perusahaan juga harus memaksimumkan dampak positifnya. Tiga upaya ini harus dilakukan dalam ranah ekonomi, sosial, dan lingkungan.

Mengapa banyak perusahaan melaksanakan CSR tapi tetap berkonflik dengan masyarakat?

Mereka ingin tampak memaksimumkan dampak positif, tetapi lupa atau sengaja tidak meminimumkan dampak negatif dan mengkompensasi dampak positifnya. Selama perusahaan tidak meminimumkan dampak negatif, masyarakat akan tetap kecewa. Bayangkan perusahaan migas yang mencemari laut. Nelayan merasakan dampak negatif, mereka kehilangan mata pencaharian. Jika perusahaan ini tidak meminumkan dampak negatif dan hanya mendirikan masjid, lapangan voli, masalah tidak akan selesai. Berapapun yang diberikan perusahaan memang akan diterima masyarakat. Tetapi, mereka juga sadar dampak negatif dari perusahaan merugikan kehidupan mereka.

Apakah perusahaan telah melaksanakan usaha tersebut secara optimal?

Saya melihat perusahaan di Indonesia belum optimal meminimumkan dampak negatifnya. Sebetulnya, pilihan teknologi untuk meminimumkan dampak negatif tersebut sangat banyak. Misalnya, salah satu perusahaan pertambangan di Kalimanta. Perusahaan ini sudah mempunyai teknologi untuk membuat cekungan hasil kegiatan pertambangan menjadi sumber air minum. Teknologinya ada. Perusahaan lain justru membiarkannya menjadi kubangan air dan asam.

Menyoal definsi Anda bahwa CSR terkait usaha meminimalkan dampak negatif. Lalu apa bedanya dengan Amdal?

Komponen utama paling penting dari CSR adalah knowing the impact, negatif maupun positif. Jadi, Amdal adalah unsur sangat penting untuk menjalankan CSR. Bahkan, menurut saya, perusahaan yang punya Amdal harus melihat ini sebagai kitab renstra CSR. Masalahnya, sebagian besar kitab ini masih buruk karena banyak perusahaan membuat Amdal asal-asalan. Mereka melihatnya hanya sebagai prasyarat administratif.

Apakah perusahaan dengan Amdal bisa dikatakan telah melaksanakan CSR secara baik?

Belum. Buktikan bahwa dia sudah melakukan RKL (Rencana Pengelolaan Lingkungan) dan RPL (Rencana Pemantauan Lingkungan) dengan benar. Jadi, punya Amdalyang baik merupakan prasyarat untuk menjalankan CSR dengan baik. Kalau Amdal-nya jelek, lupakan kemungkinan CSR-nya baik.

Apakah ini berarti kewajiban CSR hanya menjadi tanggung jawab pertambangan yang berdampak pada alam?

Siapa bilang? Saya sama sekali tidak setuju. Industri perkapalan, misalnya, membutuhkan energi sangat besar. Kalau kita hubungkan dengan climate change, siapa pun yang memakai energi pasti menghasilkan emisi karbon. Perkapalan memakan energi besar sehingga pasti mencemari lingkungan. Contoh lain, industri perbankan. Bagaimana kalau dana nasabah disalurkan untuk membiayai kegiatan perusahaan yang memberikan dampak negatif terhadap lingkungan? Jadi, dampak utama perbankan adalah pilihan investasi yang dilakukan. Itu sebabnya, pakar CSR sepakat investor screening merupakan alat utama untuk memastikan bahwa investasi yang dilakukan tidak berdampak negatif terhadap lingkungan. Dan sepengetahuan saya, hanya bank-bank asing di Indonesia yang menandatangani standar yang disebut equator principal tersebut.

Bagaimana CSR terkait pekerja?

Ketika saya menyatakan CSR untuk seluruh pemangku kepentingan, itu berarti eksternal dan internal. Kalau kita lihat survei GlobeScan CSR Monitor, jelas sekali terlihat bahwa sebagian besar stakeholder global lebih mengutamakan CSR yang ditujukan untuk internal dulu. Jadi mereka membagi antara operational responsibilities dengan citizenship responsibilities. Operational responsibilities adalah tanggung jawab terhadap dampak, yakni lingkungan dan pekerja. Nah, saya kira di Indonesia, konsepnya masih terbalik. Yang dimunculkan adalah perusahaan-perusahaan yang mengaku menjalankan CSR dalam bentuk charity, donasi, dan lain sebagainya.

Melihat fakta ini, apakah Anda yakin korporat di Indonesia siap menghadapi ISO 26000?

ISO 26000 juga mendefinisikan CSR sebagai manajemen dampak, tanggung jawab organisasi terhadap dampak yang ditimbulkan melalui kebijakan, operasi dan aktivitasnya. Kalau ada perusahaan tidak setuju dengan konsep CSR, saya kira mereka tidak akan setuju juga terhadap ISO 26000.

Bukankah ISO ini hanya akan menjadi guideliness?

Memang tulisannya begitu. Pada tingkatan dokumen memang jadi guideliness, tetapi kan perlu juga diterjemahkan. Apalagi kalau perusahaan sudah sepakat dengan tujuh core subject yang termuat di dalam ISO 26000, mereka harus menerjemahkannya sebagai management system atau organizational government. Itu artinya ada policy dan SOP untuk memastikannya.

Apakah ada kemungkinan mendefinisikan perusahaan yang menandatangani ISO 26000 sebagai perusahaan baik?

Tanda tangan ISO 26000 tidak mengarah ke sana. Sampai sekarang, ISO 26000 tidak akan menjadi alat sertifikasi. Kalau kita belajar dari sejarah, ISO 9000 tentang mutu dan ISO 14000 tentang lingkungan pada awalnya juga hanya guideliness. Tetapi kemudian, ketika perusahaan eksport yang mengirim produk ke AS dan bertemu importir yang hanya membeli produk dengan standar mutu jelas, akhirnya perlu mekanisme standar ISO 9000.

Bukankah UU No.40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bisa jadi batu loncatan menuju kesiapan korporat menghadapi ISO 26000?

Daripada mengeluarkan UU No 40 Tahun 2007, lebih baik pemerintah menetapkan format pelaporan CSR yang jelas. Jika sudah ada format pelaporan yang jelas, terbukalah kinerja CSR perusahaan. Tidak perlu ada superbodi seperti Dewan CSR. Lebih baik, pemerintah memaksimalkan badan dan regulasi yang sudah ada. Misalnya, KLH diserahkan kekuasaan lebih tinggi untuk memberikan sanksi kepada perusahaan yang merusak lingkungan. Begitu juga dengan kementrian terkait. Kita juga sudah punya regulasi yang menyinggung ketujuh poin dalam ISO 26000. Masalahnya regulasi yang ada tidak setinggi ISO 26000. Masalah semakin buruk lagi ketika banyak kinerja perusahaan jauh di bawah regulasi. Ini menunjukkan bahwa perusahaan belum siap menghadapi ISO 26000. Mereka masih sangat jauh dari siap. Bahkan, menurut saya, kita tidak akan pernah siap karena terlalu banyak perusahaan tidak mau belajar. (*)

2 % Laba Bersih untuk Bina Lingkungan



PT Kawasan Berikat Nusantara (Persero) adalah salah satu BUMN yang menjalankan Corporate Social Responsibility (CSR) melalui program ‘Bina Lingkungan’. Demi pelaksanaan program, KBN menyisihkan 2 % dari laba bersih yang diperoleh setiap tahunnya.

Direktur Administrasi dan Keuangan PT Kawasan Berikat Nusantara (KBN), Karyono Supomo mengatakan kepada Merdeka, setiap tahun KBN menyusun program tersebut dalam rencana kerja dan anggaran perusahaan. Biasanya, program yang ditujukan untuk memberdayakan kondisi sosial masyarakat ini dilaksanakan setiap HUT KBN, awal tahun ajaran baru, dan ketika terjadi musibah.

Program ‘Bina Lingkungan’ telah dilaksanakan sejak tahun 1992. Dan hingga saat ini, KBN tetap konsisten dengan komitmennya untuk menjalankan enam item program. Yaitu, program bantuan untuk korban bencana alam, pendidikan/pelatihan, peningkatan kesehatan, pengembangan sarana dan prasarana umum, sarana ibadah, dan pelestarian alam.

Dari enam item itu, lanjut Karyono, program ‘Bina Lingkungan’ lebih difokuskan pada bantuan peningkatan kesehatan. Kebijakan ini diambil berdasarkan fakta, kondisi kesehatan masyarakat di sekitar kawasan operasional KBN masih sangat memprihatinkan.

Untuk meningkatkan efektifitas programnya, KBN memutuskan untuk memfokuskan target kegiatan pada warga yang tinggal di sekitar kawasan operasional.

Saat ini, misalnya, KBN sedang mempersiapkan diri untuk melakukan renovasi dan pembangunan jamban di wilayah Cakung, Jakarta Timur. Rencananya, proses renovasi akan dilakukan pada Juli mendatang. “Cakung menjadi konsentrasi kegiatan program ‘Bina Lingkungan’. Sebab, bila dibanding daerah operasional KBN lainnya, Cakung paling padat penduduk dengan pendapatan di bawah UMR. Selain itu, tingkat kebersihan lingkungan sangat rendah,” jelas Karyono. (Erlin Sitinjak/Dok Harian Merdeka)

‘Image’ Perusahaan Bukan Target Utama


DI tengah tingginya kasus demam berdarah dengue (DBD) di Jakarta, Jatis Mobile mengadakan aksi donor darah baru-baru ini. Sejumlah karyawan perusahaan berkumpul mengajukan diri sebagai pendonor. Dalam kegiatan tersebut, hadir Chief Marketing Officer Jatis Mobile Officer Asrul A Ali. Meski tidak ikut mendonorkan darahnya, ia memotivasi para karyawan untuk berbagi kepedulian kepada masyarakat sekitar.

“Ini merupakan kegiatan donor darah sekaligus program Corporate Social Responsibility (CSR) pertama yang kita laksanakan. Kegiatan ini dipilih karena dinilai mampu memberikan kontribusi langsung kepada masyarakat. Pada 2009, kita akan melaksanakan banyak program. Setidaknya, kita telah berkomitmen melaksanakan program sosial seperti ini,” kata Asrul kepada Merdeka.

Yang penting, lanjut Asrul, program tersebut memberi manfaat langsung baik kepada masyarakat maupun perusahaan. Diakuinya, program CSR Jatis Mobile masih bersifat charity. Akan tetapi, pihak perusahaan akan mengupayakan keberlanjutan program.

“Sebagai perusahaan yang mendapat resource dari berbagai elemen masyarakat dan lingkungan, sudah selayaknya kita memberikan sesuatu kepada masyarakat yang bisa dimanfaatkan secara langsung,” tandasnya.

Lebih lanjut dikatakan Asrul, program CSR ini dijalankan satu divisi di bawah public relations. Divisi ini dinilai tepat menangani program CSR.

Asrul mengakui, program CSR ini berpotensi mengangkat image perusahaan di mata publik. “Jika program CSR bisa mengangkat image perusahaan di mata publik, Alhamdulillah. Tetapi, bukan itu target utama kita,” katanya.

Kewajiban CSR

Menanggapi kebijakan pemerintah yang mengundang-undangkan kewajiban CSR, Asrul mengatakan sejauh ini Jatis Mobile mampu menyikapinya dengan bijak. Setidaknya ada tiga kegiatan sosial yang akan dilakoninya tiap bulan.

“Pada dasarnya, setiap undang-undang yang dikeluarkan pemerintah bermaksud baik. Sebagai praktisi bisnis, industri selalu mencoba melihat sejauh mana ia bisa memberikan kontribusi dengan batasan yang bisa diterima,” ujarnya.

Untuk diketahui, Jatis Mobile adalah salah satu perusahaan mobile business besar di Indonesia. Jatis Mobile merupakan anak perusahaan dari Jatis Group-- salah satu perusahaan multinasional yang bergerak dalam bidang pelayanan solusi teknologi informasi.

Perusahaan ini telah menjalin kerja sama dengan tujuh operator telepon seperti Telkomsel, Indosat, XL, Telkom Flexi, Mobile8, Star One, dan Esia. Selain itu, menjalin kerja sama dengan delapan stasiun TV nasional, sejumlah lebel musik, media cetak, industri telepon genggam, perusahaan perbankan, dan industri rokok. (Erlin Sitinjak/Harian Merdeka)

Jumat, 13 Maret 2009

CSR Masih Sebatas ‘Charity’


PELAKSANAAN konsep Corporate Social Responsibility (CSR) di Indonesia terbilang baru berjalan 4-5 tahun. Selama itu pula, multinational company yang sudah melaksanakan CSR di negara asal, berupaya mengembangkan program di Indonesia.

Tetapi, perusahaan lokal masih menganggap CSR sebagai charity program, pengumpulan dana, bahkan kedok atau bahan promosi perusahaan. Padahal seharusnya CSR tidak hanya dilaksanakan satu kali tapi berkelanjutan. Pandangan itu disampaikan Resource Development Director Habitat for Humanity, Andrew Hidayat. Habitat for Humanity adalah lembaga non-profit yang menggandeng korporat di Indonesia, untuk membantu mendirikan rumah bagi masyarakat ekonomi lemah.

Menurutnya, CSR adalah suatu program berkelanjutan terhadap lingkungan sosial dan melibatkan semua pihak di internal perusahaan. Selain mengalokasikan dana bantuan, korporat seharusnya memberikan atensi dan tenaga untuk menjadi relawan kegiatan CSR.

“Program tersebut harus menjadi suatu program yang bertahap, karena skup CSR sangat luas. Komitmen ini harus dimiliki setiap korporat,” kata Andrew kepada Merdeka.

Andrew berharap, pemerintah meningkatkan intervensi terhadap program CSR perusahaan. Intervensi ini sangat penting. “Hingga saat ini, pemerintah hanya mengatur anggaran dana CSR untuk perusahaan pertambangan, yaitu sekitar 5%. Peraturan ini belum ditetapkan untuk perusahaan yang bergerak di sektor lainnya. Padahal, di luar negeri, ini sudah menjadi aturan main yang sifatnya memaksa,” kata Andrew. Ia melihat, pemerintah masih dalam tahap mematangkan konsep CSR dan ini bukan pekerjaan mudah.

Jarang Peminat

Andrew menjelaskan, sejumlah perusahaan yang jadi mitra cenderung mengadopsi program Habitat for Humanity dan mengkombinasikan dengan program CSR mereka. Dalam kerja sama itu, pihaknya mendapat kepercayaan mengelola dana CSR.

Dana tersebut disalurkan kepada home owner yang membutuhkan bantuan merenovasi rumah. Dana yang dipinjamkan harus dicicil kembali, karena akan digunakan membangun rumah berikutnya.

Andrew menilai, banyak korporat belum familiar dengan program CSR pembangunan perumahan rakyat. “Sebenarnya sudah banyak perusahaan yang melaksanakan program CSR. Namun, kebanyakan masih fokus pada program pendidikan, kesehatan, budaya, dan lingkungan. Sementara untuk masalah perumahan, masih sangat jarang menjadi fokus perhatian,” ujarnya.

Meski demikian, ia tidak sepenuhnya mempersalahkan korporat. Itu bisa terjadi karena kurangnya publikasi kebutuhan rumah layak huni. Di lain pihak, program pemerintah belum mampu menjangkau masyarakat ekonomi menengah ke bawah.

“Departemen memang punya program sendiri, seperti program Seribu Tower Rumah Susun. Akan tetapi, program perumahan ini masih sulit dijangkau kalangan bawah, karena harganya mahal. Jadi program pemerintah masih terbatas untuk ekonomi menengah,” tandasnya.

Untuk itulah Habitat hadir di Indonesia. Sebagai organisasi non profit, Habitat mengkalim dapat menekan cost sehingga pinjaman dapat diwujudkan untuk membangun rumah. Habitat juga tidak mengharuskan keluarga untuk membangun rumah baru. Sebaliknya, Habitat menyesuasikan diri dengan kapasitas setiap home owner. Jadi, besar pinjaman disesuaikan dengan kemampuan pengembalian. Misalnya, jika kemampuan pengembalian kecil, Habitat akan menyarankan home owner untuk membangun rumahnya secara bertahap. (Erlin Sitinjak/Harian Merdeka)

Krisis Global, CSR Tetap Jalan

PIHAK PT Metrodata Electronics Tbk tidak keberatan dengan aturan Undang-Undang (UU) No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT) yang mengatur kewajiban tanggung jawab sosial (Corporate Social Responsibility/CSR) perusahaan. Pasalnya, perusahaan telah menjalankan program CSR jauh sebelum aturan itu ditetapkan dalam UU.

“Hanya saja, kita merasa sedikit kesulitan dengan ketentuan tersebut. Sebab, ketentuan itu mengharuskan kita mempublikasikan setiap bentuk kegiatan CSR yang dilaksanakan,” kata Senior PR Officer PT Metrodata Electronics, Meilani D Rohi kepada Merdeka. PT Metrodata Electronics adalah salah satu perseroan teknologi informasi di Indonesia.

Menurut Meilani, pihak perusahaan tetap konsisten menjalankan CSR. Meski sekarang terjadi krisis global, pihak perusahaan berusaha tidak menghapuskan program pendidikan berupa pemberian beasiswa.

Justru, pada 2009 ini, perusahaan berusaha menjangkau lebih banyak lagi penerima manfaat. Sasarannya tetap untuk masyarakat di sekitar wilayah operasional PT Metrodata. “Saat ini, kita melakukan kegiatan yang berhubungan dengan penerapan informasi dan teknologi. Sebagai contoh, pemberian bantuan ke sekolah-sekolah di sekitar PT Metrodata Electronics Tbk yang sudah memiliki laboratorium komputer,” tegasnya.

Selain itu, sejak 1999 hingga sekarang, perusahaan memberikan beasiswa kepada mahasiswa berprestasi tapi tidak mampu secara ekonomi. Beasiswa diberikan kepada mahasiswa Universitas Indonesia, Institut Pertanian Bogor, dan Institut Teknologi Bandung. “Kita juga telah melakukan ekspansi dan saat ini sudah ada enam universitas. Selain tiga universitas tadi, ada Institut Teknologi Surabaya, Universitas Gadjah Mada, dan Universitas Diponegoro,” tegasnya.

Konsep Beasiswa

Melilani menjelaskan, setiap tahun pihaknya menghubungi bagian kemahasiswaan dan meminta mereka mengrimkan 10 nama calon penerima beasiswa. “Mahasiswa yang memenuhi kriteria akan dipanggil untuk mengikuti psikotes dan interview seputar minat bakat dengan bagian Human Resources. Setelah itu, mereka akan di-interview bagian eksekutif. Jadi, proses seleksi sangat ketat,” tambahnya.

Proses ketat ini perlu karena program bersifat long-term. Beasiswa akan diberikan sampai mahasiswa lulus.

Tidak ada batasan penerima beasiswa dari jurusan tertentu. Akan tetapi sekitar 50% penerima beasiswa adalah mahasiswa jurusan elektronika. Mereka akan mendapat dana beasiswa Rp 2 juta per semester. Penerima beasiswa wajib mengirimkan foto kopi Kartu Hasil Studi (KHS) setiap semester.

Mahasiswa yang terkena DO atau menerima beasiswa dari pihak lain, tidak berhak melanjutkan beasiswa Metrodata. Sejauh ini, sudah ada tiga mahasiswa yang keluar dari program tersebut. “Kita fokus di dunia pendidikan karena menganggap ini senjata paling ampuh untuk mencerdaskan bangsa,” kata Meilani. Untuk program pendidikan, anggaran perusahaan mencapai Rp 700 juta – Rp 100 juta per tahun. (Erlin Sitinjak/Harian Merdeka)