Selasa, 03 Maret 2009

Jangan Abaikan Tanggung Jawab Sosial

ERLIN SITINJAK

erlin.sitinjak@merdeka.co.id

Ketua Corporate Forum for Community Development (CFCD) Thendri Supriatno mengkhawatirkan dikabulkannya tuntutan penghapusan aturan hukum Corporate Social Responsibility (CSR). Menurutnya, bila tuntutan pengusaha itu benar-benar dikabulkan, diperkirakan akan semakin banyak perusahaan yang mengabaikan tanggung jawab sosialnya.

“Menurut saya lebih baik masih ada UU. Banyak keuntungan yang sebenarnya bisa dimanfaatkan. Pertama, taxable. Kedua, boleh dibiayakan. Misalnya, pembuatan alat pengolahan limbah bisa dimasukkan sebagai biaya CSR karena itu memang eligible untuk biaya CSR,” kata Trendi saat ditemui Merdeka di Jakarta.

Menurutnya, UU CSR justru memperjelas kebijakan pemerintah, misalnya menyangkut pengurangan pajak. Diakuinya, kompensasi pengurangan pajak bagi perusahaan yang melaksanakan CSR memang masih membingungkan. Hal ini karena belum adanya peraturan pemerintah (PP) yang mengatur mekanisme pengurangan pajak. “Persoalannya, juklaknya memang belum ada. Ini tugas government. Sudah keluar undang-undang, tetapi petunjuknya belum ada. Pemerintah harus segera menentukan bagaimana sistem akuntasinya, item dan pos mana yang eligible sebagai biaya CSR,” tegasnya.

Isu pengurangan pajak ini mendapat perhatian serius dari banyak pihak. Namun demikian, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia secara tegas menolak penerapan kompensasi pengurangan pajak atas pelaksanaan CSR.

“Pemerintah harus mengurangi beban pajak perusahaan-perusahaan yang telah melaksanakan konsep CSR. Biaya entertainment cost saja boleh sebagai faktor pengurangan pajak, apalagi CSR yang membawa kebaikan bagi masyarakat, corporate dan pemerintah,” katanya.

Pajak Tidak Cukup

Menurut Thendri, selama ini perusahaan memang telah membayar pajak. Akan tetapi ini tidaklah cukup. “Betul bahwa mensejahterakan rakyat adalah kewajiban negara. Tetapi negara ini belum mampu. Setelah di-breakdown, APBN tidak cukup menangani semuanya. Ini adalah kebijakan politik ekonomi. Kita harus memilih, mencegah atau menanggulangi? Itulah esensi CSR,” tegasnya.

Ia mencontohkan kasus sampah. “Sampah selalu jadi perdebatan, apakah domain masyarakat, corporate atau negara. Corporate menciptakan sampah. Yang membuang masyarakat dan pemerintah yang bersih-bersih. Dananya dari APBN. Kalau dana itu bisa untuk mensejahterakan mengapa untuk membersihkan sampah? Ini yang disebut externality cost,” katanya.

Melalui contoh tersebut, Hendri menegaskan CSR merupakan paling tepat untuk mengurangi externality cost. “Jadi, CSR is good for everybody. Nah, sekarang, tinggal attitude corporate seperti apa,” tandasnya.

Secara terpisah, Direktur Jenderal Pemberdayaan Sosial Departemen Sosial Gunawan Sumodiningrat menambahkan, kewajiban CSR seharusnya tidak dianggap sebagai beban. Sebab, perusahaan mendapatkan keuntungan jika melaksanakan tanggung jawab sosialnya terhadap masyarakat. “Menjalankan tanggung jawab sosial sebenarnya kebutuhan perusahaan. Karena ini menyangkut citra. Jika citranya baik, maka perusahaan bersangkutan tak perlu mengeluarkan biaya untuk menyelesaikan masalah dengan masyarakat,” tandasnya. (*)

.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar