Jumat, 13 Maret 2009

CSR Masih Sebatas ‘Charity’


PELAKSANAAN konsep Corporate Social Responsibility (CSR) di Indonesia terbilang baru berjalan 4-5 tahun. Selama itu pula, multinational company yang sudah melaksanakan CSR di negara asal, berupaya mengembangkan program di Indonesia.

Tetapi, perusahaan lokal masih menganggap CSR sebagai charity program, pengumpulan dana, bahkan kedok atau bahan promosi perusahaan. Padahal seharusnya CSR tidak hanya dilaksanakan satu kali tapi berkelanjutan. Pandangan itu disampaikan Resource Development Director Habitat for Humanity, Andrew Hidayat. Habitat for Humanity adalah lembaga non-profit yang menggandeng korporat di Indonesia, untuk membantu mendirikan rumah bagi masyarakat ekonomi lemah.

Menurutnya, CSR adalah suatu program berkelanjutan terhadap lingkungan sosial dan melibatkan semua pihak di internal perusahaan. Selain mengalokasikan dana bantuan, korporat seharusnya memberikan atensi dan tenaga untuk menjadi relawan kegiatan CSR.

“Program tersebut harus menjadi suatu program yang bertahap, karena skup CSR sangat luas. Komitmen ini harus dimiliki setiap korporat,” kata Andrew kepada Merdeka.

Andrew berharap, pemerintah meningkatkan intervensi terhadap program CSR perusahaan. Intervensi ini sangat penting. “Hingga saat ini, pemerintah hanya mengatur anggaran dana CSR untuk perusahaan pertambangan, yaitu sekitar 5%. Peraturan ini belum ditetapkan untuk perusahaan yang bergerak di sektor lainnya. Padahal, di luar negeri, ini sudah menjadi aturan main yang sifatnya memaksa,” kata Andrew. Ia melihat, pemerintah masih dalam tahap mematangkan konsep CSR dan ini bukan pekerjaan mudah.

Jarang Peminat

Andrew menjelaskan, sejumlah perusahaan yang jadi mitra cenderung mengadopsi program Habitat for Humanity dan mengkombinasikan dengan program CSR mereka. Dalam kerja sama itu, pihaknya mendapat kepercayaan mengelola dana CSR.

Dana tersebut disalurkan kepada home owner yang membutuhkan bantuan merenovasi rumah. Dana yang dipinjamkan harus dicicil kembali, karena akan digunakan membangun rumah berikutnya.

Andrew menilai, banyak korporat belum familiar dengan program CSR pembangunan perumahan rakyat. “Sebenarnya sudah banyak perusahaan yang melaksanakan program CSR. Namun, kebanyakan masih fokus pada program pendidikan, kesehatan, budaya, dan lingkungan. Sementara untuk masalah perumahan, masih sangat jarang menjadi fokus perhatian,” ujarnya.

Meski demikian, ia tidak sepenuhnya mempersalahkan korporat. Itu bisa terjadi karena kurangnya publikasi kebutuhan rumah layak huni. Di lain pihak, program pemerintah belum mampu menjangkau masyarakat ekonomi menengah ke bawah.

“Departemen memang punya program sendiri, seperti program Seribu Tower Rumah Susun. Akan tetapi, program perumahan ini masih sulit dijangkau kalangan bawah, karena harganya mahal. Jadi program pemerintah masih terbatas untuk ekonomi menengah,” tandasnya.

Untuk itulah Habitat hadir di Indonesia. Sebagai organisasi non profit, Habitat mengkalim dapat menekan cost sehingga pinjaman dapat diwujudkan untuk membangun rumah. Habitat juga tidak mengharuskan keluarga untuk membangun rumah baru. Sebaliknya, Habitat menyesuasikan diri dengan kapasitas setiap home owner. Jadi, besar pinjaman disesuaikan dengan kemampuan pengembalian. Misalnya, jika kemampuan pengembalian kecil, Habitat akan menyarankan home owner untuk membangun rumahnya secara bertahap. (Erlin Sitinjak/Harian Merdeka)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar