Selasa, 03 Maret 2009

Korporat Harus Berdayakan Perempuan



DESAKAN sejumlah organisasi pengusaha untuk menghapuskan Pasal 74 Undang-Undang N0.40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, dinilai sah-sah saja. Akan tetapi, kalangan DPR sendiri mengisyaratkan tetap mendukung pemerintah menjadikan Corporate Social Responsibility (CSR) sebagai kewajiban hukum.

“Saya sangat setuju dengan kebijakan pemerintah yang telah mengundang-undangkan kewajiban CSR. Bahkan, saya ingin mengimbau agar mereka (korporat) memberikan perhatian lebih untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, khususnya pemberdayaan perempuan,” kata Ketua Komisi VIII DPR RI Hasrul Azwar kepada Merdeka di Jakarta, Selasa (3/3).

Hasrul menyatakan keprihatinannya, karena pihak korporat belum menyadari betul peran dan tanggung jawabnya untuk ikut serta memajukan negeri ini. Bahkan, program-program CSR yang dijalankan jarang menyentuh program pemberdayaan perempuan. Perhatian korporat terhadap sumber daya manusia yang secara kuantitas mendominasi negeri ini sangat minim.

Sementara perhatian pemerintah terhadap isu pemberdayaan perempuan juga masih rendah. Itu terlihat dari minimnya anggaran dana APBN yang dialokasikan untuk program ini. “Hingga menjelang akhir pemerintahan SBY-JK, dana yang dianggarkan untuk program pemberdayaan perempuan hanya berkisar Rp 400 miliar-Rp 500 miliar. Kami sudah mengajukan permohonan agar anggaran ini ditingkatkan. Namun, hasilnya belum begitu memuaskan,” tandas Hasrul.

Dengan dana ala kadarnya, pemerintah hanya bisa melakukan program dan kegiatan-kegiatan standard. Padahal, menurutnya, masih banyak kegiatan yang lebih efektif. “Sebenarnya, banyak sekali kegiatan yang dapat dilakukan untuk memaksimalkan potensi perempuan, seperti program ibu sehat, pembinaan keterampilan perempuan,” jelasnya.

Dengan memanfataatkan momen Hari Perempuan sedunia yang jatuh pada Minggu (8/3) mendatang, Harsul mengimbau korporat melakukan kegiatan untuk memberdayakan perempuan.

CSR Jepang

Sementara itu, Managing Director Yamaha Music Foundation Mr Kazunobu Yamada mengungkapkan kekagumannya atas kebijakan pemerintah Indonesia yang telah ketentuan hukum CSR. Jepang sendiri belum memiliki UU CSR. “Walaupun belum ada UU CSR, Yamaha Corporation selalu konsisten melaksanakan program CSR baik di Jepang maupun di negara-negara yang menjadi wilayah operasional Yamaha,” kata Kazunobu kepada Merdeka.

Sejak didirikan di Indonesia pada 1966, Yamaha Music Foundation telah aktif menjalankan program CSR. Akan tetapi, program CSR ini berbeda dengan perusahaan lain. Anggarannya bersumber dari royalti sekolah musik Yamaha yang tersebar di 40 negara dan memberikan kontribusi kepada masyarakat melalui musik.

“Program CSR Yamaha Music Foundation disesuaikan filosofinya, yaitu memperkaya kehidupan manusia melalui musik,” jelasnya.

Untuk sementara, program CSR di Indonesia masih terbatas pada program pemberian beasiswa. Sejak 2004, sudah tercatat sembilan siswa dari Indonesia menerima beasiswa dari Yamaha Music Foundation. Pada acara tersebut, lima siswa di Indonesia mendapat beasiswa Rp 24 juta. (Erlin Sitinjak/Harian Merdeka)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar